Selasa, 17 Mei 2011

Komunikasi yang efektif dan efisien menghantar kesuksesan?

Komunikasi yang efektif dan efisien menghantar kesuksesan?


Dalam tulisan blog saya kali ini tidak membahas mengenai materi secara formal mengenai komunikasi karena saya rasa sudah kita bahas bersama dikelas minggu lalu sebelum UTS. Mungkin saya sedikit mengulas artikel yang membahas mengenai “komunikasi secara efektif dan efisien”. Banyak orang menganggap komunikasi bukanlah sesuatu yang tidak penting untuk dipelajari, karena setiap hari pasti kita melakukan komunikasi, pertanyaannya adalah apakah kita sudah melakukan komunikasi secara efektif dan efisien?
Efektif berarti sesuai sasaran yang dituju, sedangkan efisien lebih menekankan pada waktu, bagaimana cara kita berkomunikasi dengan jelas dan lebih dimengerti tanpa membutuhkan waktu yang relatif lama. Misal : ketika kita melakukan presentasi, pasti penyaji melakukan komunikasi dengan audience. Saat audience bertanya hendaknya penyaji memberikan jawaban yang tepat sasaran dan pada intinya tidak perlu bertele-tele yang hanya akan membuang waktu saja. Pertanyaan selanjutnya, mengapa komunikasi harus efektif dan efisien?
Berikut saya kutip sedikit dari bapak Anhar Widodo
Wakil Ketua DPD KNPI Kota Surakarta
:
Berkomunikasi secara efektif dikatakan berhasil, apabila pesan komunikasi yang disampaikan dapat dipahami sama oleh pengirim dan penerima pesan komunikasi t. Komunikasi yang efisien adalah apabila unsur waktu, biaya dan tenaga dapat dihemat sedemikian rupa. Maka kombinasi efektif dan efisien menjadi penting dalam komunikasi.
Sayangnya, masih banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa komunikasi yang efektif dan efisien adalah bagian dari proses kita menuju sukses. Orang sukses adalah mereka yang mampu membangun komunikasi dengan siapa saja secara efektif dan efisien. Kompetensi, bisnis, pendidikan, organisasi atau relasi apapun membutuhkan syarat adanya komunikasi yang efektif dan efisien. Bagaimana kita akan memulai sebuah proses komunikasi yang efektif dan efisien? Menurut beberapa ahli, komunikasi terbagi setidaknya dalam empat bagian yaitu: komunikasi intrapersonal (komunikasi dengan diri sendiri); komunikasi interpersonal (komunikasi pribadi dengan orang lain); komunikasi dalam kelompok; dan komunikasi yang memanfaatkan media massa (cetak, elektronik,maupun internet).
Pada kasus ini, komunikasi akan dititikberatkan kepada komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Komunikasi interpersonal misalnya proses jual beli di pasar, komunikasi orangtua dan anak, komunikasi suami istri, pimpinan dan anak buah dan sebagainya. Sementara komunikasi kelompok misalnya proses belajar mengajar di kelas, seminar, pelatihan, workshop dan sejenisnya.

Tuhan memberi kita dua telinga dan satu mulut agar kita “lebih banyak mendengar dan sedikit berbicara”, inilah kunci utama membangun komunikasi yang efektif dan efisien. Orang lain yang berbicara kepada kita, punya harapan untuk didengar saja, ditanggapi atau diberikan solusi. Kepekaan kita menangkap maksud tersebut juga menentukan respons apa yang efektif dan efisien untuk kita berikan.
Misalkan saja kita menjual jasa kepada orang lain, dan mereka mengeluh karena pelayanan yang tidak sesuai harapan. Biasanya konsumen cenderung emosional dan marah mengungkapkan keluhan mereka. Keterampilan kita untuk mendengarkan, memilah dan memilih hal apa saja yang perlu kita respons dan apa saja yang mesti kita abaikan, akan menentukan keberhasilan kita memberikan pelayanan kepada konsumen. Kebanyakan konsumen yang complain, puas dengan pelayanan kita bukan karena solusi yang kita tawarkan, melainkan cara kita memperlakukan mereka.
Semakin tinggi kemampuan kita mendengar orang lain, maka semakin jelas pula mana yang jadi masalah mereka atau sekadar ungkapan emosi belaka. Dengan demikian solusi yang kita tawarkan juga lebih terarah dan terukur tingkat keberhasilannya.
Sukses, dengan demikian tidak mungkin dilepaskan dari keterampilan kita dalam membangun komunikasi yang efektif dan efisien dengan siapa saja. Maka mulailah kita membiasakan diri untuk berkomunikasi –dengan siapa saja, di mana saja, dan dalam kondisi apa saja secara lebih efektif dan efisien. Tunggu apa yang akan terjadi berikutnya kepada kita: pasti sukses!! 

Sabtu, 14 Mei 2011

Prinsip dan Kaidah Akuntansi Syariah




Sebelum mengulas lebih jauh mengenai prinsip dan kaidah dalam perspektif islam, saya akan membahas mengenai sejarah akuntansi di negara islam. Sesungguhnya sejarah akuntansi islam sebagaimana dituliskan oleh para ahli menunjukkan bahwa akuntansi secara umum atau apa yang dinamakan dengan double entry  secara khusus tumbuh dan berkembang di Eropa.
Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata “Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam“, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.
Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya  Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang  akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan“hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf  (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
  1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
  2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
  3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
  4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
  5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
  6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
  7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
  1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
  2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
  3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
  4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
  5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
  6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an.“……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/16:89)

dikutip dari MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Rabu, 04 Mei 2011

pemberian obat langsung dari dokter melanggar kode etik ???


Sebelum membahas permasalahan diatas, saya baru mengetahui jika pemberian obat langsung dari dokter praktik adalah pelanggaran etika, karena selama ini sering saya temui banyak sekali dokter praktik yang sekaligus mempromosikan dan memberikan obat secara langsung. pemberian obat kepada pasien ini biasa disebut dengan self dispensing.
berikut artikel yang saya baca dan akan saya bahas :

Semarang (ANTARA News) - Praktik dokter yang sekaligus langsung memberikan obat kepada pasien (self dispensing) merupakan pelanggaran kode etik profesi kedokteran, menyalahi disiplin, dan bila ada yang melaporkan dapat dikenai tuduhan melanggar tata cara pengadaan obat, kata seorang praktisi hukum kedokteran.
"Self dispensing hanya dibenarkan jika tidak ada sarana, seperti apotek, disekitar tempat praktik, setidaknya jarak praktik dokter dengan apotek minimal 10 kilometer,” ujar staf pengajar Forensik dan Hukum Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dr. Gatot Suharto, S.H., Dipl. For.Med. seringkali kita jumpai banyak sekali dokter praktik yang memberikan obatnya secara langsung setelah memeriksa pasien, padahal kondisi apotek yang tersedia tidak jauh dari tempat praktek (kurang dari 1km). Kode Etik Kedokteran diatur dalam UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, dan secara umum diatur dalam UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992.

“Pemberian terapi obat langsung dari dokter kepada pasien diperbolehkan, jika menghadapi situasi darurat dan hanya untuk dosis awal,” ujar
dr. Gatot Suharto, S.H., Dipl. For.Med..

Menurut dia, seorang dokter dapat dilaporkan oleh penyalur obat, karena menyalahi tata cara disiplin obat di Indonesia, mengingat yang diberi izin menyalurkan obat yang diresepkan adalah apotek.

“Ini merupakan pelanggaran etika dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah sering memberikan peringatan, tapi terkadang praktik self dispensing memang tidak mudah dibuktikan,” katanya menambahkan.